Headlines
http://www.mahartibrand.com/

Published On:Sabtu, 30 Juli 2016
Posted by Unknown

Indonesia Jangan Terperangkap Konflik SARA

Foto : Ist
Anggota DPR RI, Drs H Mahfudz Siddik MSi.
NASIONAL – Kasus konflik SARA terjadi lagi di Indonesia, tepatnya di Tanjung Balai, Sumatra Utara melibatkan kelompok Melayu-Muslim vs Cina-Budha. Atas hal tersebut, pemerintah harus segera lakukan dua hal, diantaranya menegakkan hukum terhadap semua pihak yang terlibat dan bertanggung jawab atas kasus tersebut. Lalu melakukan langkah pencegahan meluasnya konflik tersebut ke derah lainnya juga.

Hal ini seperti yang disampaikan Anggota DPR RI, Drs H Mahfudz Siddik MSi, konflik SARA di Tanjung Balai tidak boleh dianggap sepele. Ada potensi letupan konflik yang lebih besar dan luas. Jika itu terjadi, kata dia, maka bisa menjadi pintu kekacauan politik dan ekonomi baru di negeri ini. 

Pasalnya, kata dia, yang pertama, konflik SARA sedang menjadi trend dunia. Kekacauan politik di kawasan timur-tengah yang melibatkan beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat telah memunculkan kekuatan teror baru yg menakutkan, yaitu ISIS. Buah dari rangkaian aksi teror yang terus berlanjut adalah menguatnya sentimen negatif terhadap Islam dan ummat Islam. Ini tercermin, kata dia, dari sikap politik kelompok ultra-nasionalis di beberapa negara eropa. Seperti salah satunya sikap politik Capres Amerika, Donald Trump, dan meningkatnya tekanan terhadap kelompok muslim di India dan Tiongkok misalnya.

“Ada semacam cipta kondisi global untuk memosisikan Islam dan umat Islam sebagai musuh bersama. Dan pada saat yang sama ISIS dan unsur-unsur pendukungnya terus melakukan serangan terhadap siapapun yang dianggap lawan,” ujarnya.

Adapun yang kedua, kata Mahfudz, menguatnya posisi dan peran politik kelompok minoritas yang mengusung isu anti-kemapanan. Keberhasilan partai politik ultra-nasionalis (sayap kanan jauh, red) menguasai pemerintahan dan mengubahkebijakan pemerintahan di sejumlah negara eropa menjadi bukti nyata. Contohnya di Polandia, Italia dan juga kemenangan Brexit di Inggris. Menguatnya dukungan terhadap Trump juga menjadi indikasi tambahan. Kekuatan politik ini, lanjut dia, diprediksi akan mengusung isu yang berakibat meningkatnya konflik SARA di berbagai negara. 

Selain itu yang ketiga, dalam konteks domestik Indonesia, kedua hal di atas juga saat ini sedang terjadi. Isu terorisme makin menguat dan tidak bisa dipungkiri bahwa isu ini menggiring opini luas bahwa Islam (umat islam, red) sebagai ancaman. Ruang demokrasi juga sedang mencuatkan posisi dan peran politik yang lebih besar kepada unsur minoritas. Sebut saja isupilkada DKI. Kontestasi pilpres yang lalu pun sebenarnya tak lepas juga dari nuansa isu SARA. 

Selanjutnya yang keempat, harus diakui bahwa Indonesia menyimpan riwayat konflik SARA yang panjang dan tetap menjadi bahaya laten. Faktor kesenjangan sosial-ekonomi tetap menjadi pemicu paling mendasar.

Kelima, ini yg perlu dicermati serius, dimana munculnya gejala arogansi dan kontroversi kebijakan yang dipersepsi oleh unsur mayoritas sebagai upaya untuk memenangkan agenda unsur minoritas. Sebut saja kontroversi penghilangan kolom agama di KTP, penghapusan Perda “syariah”, sejumlah kebijakan Pemprov DKI yang dianggap merugikan kepentingan umat Islam plus sikap-sikap sang Gubernur yang dinilai arogan.  

Kelima faktor skala global dan domestik ini bisa bercampur-aduk sedemikian rupa dengan aneka bumbu. Hal ini berjalan di atas realitas, dimana keberagaman masyarakat Indonesia, kesenjangan sosial-ekonomi yang menguat akibat problem ekonomi yang makin berat, riwayat panjang konflik bernuansa SARA, dan munculnya model kepemimpinan dan kebijakan yang dipersepsi sbg pertarungan minoritas vs mayoritas.

Peristiwa Tanjung Balai (jika benar, red) diawali oleh protes seorang warga keturunan terhadap azan dari sebuah masjid. Suatu yang mengagetkan karena rasanya belum pernah terjadi sebelumnya. Apa yang mendorong warga tersebut melakukan protes yang memicu kemarahan. 

Dan kenapa reaksi balik dari ribuan warga lainnya begitu dahsyat. Kasus ini berpotensi menjadi apa bagi republik. Kasus Tanjung Balai merupakan peluit peringatan yang sangat keras buat bangsa ini dan semua jajaran pemerintahan di pusat dan daerah. Pilihan terbaik adalah berpihak pada kesatuan dan persatuan bangsa.

“Jelas, negara harus menegakkan hukum terhadap siapapun yang terbukti merusaknya. Siapapun dia. Sambil negara memastikan bahwa dirinya mampu menjadikan Indonesia sebagai tempat hidup yang harmoni bagi semua anak bangsa,” pungkasnya. 

Sumber: cirebonpos.com

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+

Banten Perspektif

Update Unknown News 10.26.00. , . Terima Kasih Atas Kesediaanya Membaca Informasi Kami Semoga Bermanfaat. Dan Memberikan Inspirasi



http://www.mahartibrand.com/

http://www.mahartibrand.com/

<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"> </div> <div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"> <a href="https://web.facebook.com/noq.murni?fref=ts" target="_blank"><img alt="https://web.facebook.com/noq.murni?fref=ts" border="0" height="300" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgS4R8b10VsZV-B2hQHaATVx04oOL74TL37Wn5lSSShcyM8XLeReUtJUKzYRSOJ4_0PySAuPrV8UAgTKhzm4KFbXvEcy_bpnccKXiSsAoKyhHhi3Cah87KvlnpTcViQzVi04IAXLWsFn1D8/s300/3.jpg" width="320" /></a></div> <br />