Published On:Rabu, 21 Desember 2016
Posted by Unknown
Memaknai Hari Ibu
MIEKE WAHYUNI SUSWONO- Menjadi seorang Ibu adalah kebanggan sekaligus perjuangan sebagaimana Ibu-ibu kita. |
Jika ada hari untuk membalas segala sesuatu yang telah diberikan Ibu kepadaku, maka setiap hari adalah Hari Ibu.
Banyak pujangga yang membuat syair sosok Ibu, banyak syair yang menuturkan mulianya seorang Ibu, banyak kata mutiara yang dijejerkan untuk menggambarkan betapa mulianya seorang Ibu. Namun semua itu tidak akan cukup membandingkan dengan pengorbanan seorang Ibu, tidak akan cukup melukiska ketulusan dan kemuliaan seorang Ibu.
Saya, Anda dan kita semua tentu pernah merasakan bagaimana kehangatan, kasih sayang dan pengorbanan seorang Ibu. Disaat kita tidur, Ibu rela dan penuh kelembutan bangun karena khawatir kita digigit nyamuk. Ketika kita menangis kesakitan Ibu memeluk kita, melihat sekujur tubuh kita karena khawatir ada bagian tubuh kita yang sakit.
Padahal, sakitnya kita tentu tidak seberapa dibandingkan dengan sakitnya seorang Ibu saat melahirkan. Berkeringat dan mempertaruhkan nyawannya hanya untuk kehidupan kita. Ketika kita kesulitan lahir, seorang Ibu mengatakan kepada bidan atau dokter agar mengutamakan keselamatan sang bayi, yaitu kita.
Kitalah yang mereka utamakan, Ibu memilih mati andaikan dihadapkan pada dua pilihan dia atau anaknya. Lalu bagaimana setelah kita dewasa, masihkah kita ingat semua itu atau justru kita anggap biasa saja. Batin Ibu memang tidak ingin menerima bayaran atas jasanya mengasuh kita, atas jasanya mendidik kita, atas jasanya mengayomi kita.
Seorang Ibu hanya ingin melihat anaknya sukses dan menjadi anak yang dibanggakan, anak yang bisa menyelematkan mereka kelak di akhirat. Pada momentum Hari Ibu, adalah momentum untuk menghentikan sejenak aktivitas kita untuk melihat wajah Ibu kita yang mulai mengkeriput, memandang rambut Ibu kita yang mulai memutih dan memeluk mereka yang tubuhnya mulai layu, matanya sayu.
Bahagiakan Ibu kita, bahagiakanlah dengan kebahagiaan hakiki. Meski itu tidak akan cukup menggantikan pengorbanan sang Ibu, tapi paling tidak meredakan rasa salah kita yang semasa kecil suka menangis meminta sesuatu yang Ibu tidak sanggup, tapi Ibu kita bersusah payah memenuhi keinginan kita.
Kita punya inspirasi seorang Ibu, dalam Agama Islam ada sosok Siti Hajar, ibu Nabi Ismail. Siti Hajar adalah sosok Ibu yang tangguh, taat dengan Agama, taat dengan suami dan profesional, dia mampu menempatkan posisi dimana sebagai seorang istri manusia biasa, dimana sebagai istri seorang nabi. Nama lainnya adalah Siti Khadijah, istri Nabi Muhammad SAW. Dialah yang telah mengorbankan kebangsawaanannya untuk penyebaran Agama Islam yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.
Khadijah juga mengorbankan hartanya untuk perjuangan Nabi Muhammad SAW demi dakwahnya. Bahkan ketika semuanya habis, Khadijah menangis karena tidak ada lagi yang bisa dikorbankan untuk membantu perjuangan Nabi Muhammad SAW. Ada deretan Ibu yang layak kita jadikan contoh, ada Siti Fatimah, Ibu Nabi Muhammad SAW.
Di dalam lingkungan kita sendiri, ada sosok Ibu tangguh yang luar biasa, salah satunya adalah Ibu kita, mereka para Ibu yang bangun pagi-pagi lalu bersujud di atas sajadah dan berdoa untuk anak-anak mereka agar sukses. Ada pula perjuangan seorang Ibu yang harus banting tulang demi memenuhi kebutuhan anak-anak mereka.
Ibu memang betul terbuat dari tulang rusuk laki-laki, tapi bebannya melebihi kemampuan tulang rusuk. Bahkan tidak jarang menjadi tulang punggung. Subhanallah, Maha Suci Allah yang telah menciptakan Ibu, dia adalah keramat di dunia ini. restu seorang Ibu adalah restu sang pencipta. Tidak heran Nabi Muhammad SAW menempatkan sosok Ibu pada posisi mulai.
Pekerja Keras Karakter Ibu-Ibu Indonesia
Sepanjang kami keliling dari desa ke desa, dari kampung ke kampung, dari pasar ke pasar, kami melihat sosok para Ibu di Brebes sungguh luar biasa. Mereka pekerja keras, pantang menyerah dan pemberani. Mereka mulai berjibaku dengan meja mungil, rombeng dan terbuat dari kayu sejak matahari masih malu menampakan senyumnya sampai matahari pulang ke peraduannya.
Berapa jam mereka bekerja, delapan jam. Ah, rasanya lebih dari itu. Usai mereka berjualan di pasar, para Ibu-Ibu di Brebes masih memegang dengan jemarinya yang "berkapal" membereskan kamar, dapur dan mencuci pakaian. Mereka juga harus menyediakan makanan buat anak dan sang suami. Pengorbanan yang luar biasa. Semoga di Hari Ibu tahun ini, para Ibu-ibu tangguh di Brebes tetap semangat, yakinlah apa yang dilakukan selama ini akan menjadi catatan amal dan masuk dalam perhitungan Allah SWT. Wallahu'alam.
Wallahu, Alam
Salam,
Mieke Wahyuni | Istri Suswono | Menteri Pertanian Era SBY