Published On:Selasa, 06 Desember 2016
Posted by Unknown
Karakter Kota Seribu Madrasah
Dialektika dan diskursus mengenai agama dan pancasila tentu merupakan sebuah hal yang normal. Namun apabila itu berujung dengan memposisikan agama dan pancasila pada posisi yang seolah-olah saling bertentangan, maka atas nama masyarakat kabupaten Lebak , kami menolak pandangan tersebut.Penulis Ajis Suhendi
Hari ini, masyarakat Kabupaten Lebak, Propinsi Banten, sepantasnya berbahagia. Diawali di sini, riung mungpulung, nyangreudkeun tali duduluran, jeung ngabewarakeun kamaslahatan. Yang artinya lebih kurang : kumpul-kumpul, mengaitkan tali persaudaraan, dan mengabarkan kamaslahatan. Mudah-mudahan riung mungpulung ini janten hiji tatali asih nu nyangkaruk dina jajantung, nu ngajeungjeun dina angeun-angeun, bahwa kita punya tekad yang sama, yaitu nanggeurkeun karaharjaan atau mewujudkan kesejahteraan masyarakat Lebak .
Pada peringatan hari jadi tahun ini, tema yang diambil adalah ”Daerah seribu madrasah yang berkarakter”. Hal ini melambangkan kehidupan masyarakat Lebak yang lekat dengan nilai-nilai religius keagamaan. Perjalanan Kabupaten Lebak sebagai bagian dari sebuah entitas bernama Indonesia, merupakan hasil ejawantah dari prinsip-prinsip spiritual. Hubbul wathon minal iiman (cinta tanah air sebagian dari iman). Maka, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, agama dan pancasila merupakan bagian integral dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Agama dan pancasila merupakan spirit untuk membangun semangat kolektif, untuk satu langkah, satu perbuatan, gotong royong, membangunan negara kesatuan republik indonesia.
Dialektika dan diskursus mengenai agama dan pancasila tentu merupakan sebuah hal yang normal. Namun apabila itu berujung dengan memposisikan agama dan pancasila pada posisi yang seolah-olah saling bertentangan, maka atas nama masyarakat kabupaten Lebak , kami menolak pandangan tersebut. NKRI adalah final dengan nilai – nilai agama yang menjadi pedoman berbangsa dan bernegara di dalamnya.
Bila melihat ada yang unik dan agak berbeda dengan dengan peringatan hari jadi – hari jadi sebelumnya, terutama terkait pakaian. Sengaja pada ritual hari jadi kali ini, elemen sipil di arahkan untuk memakai pakaian kampret kasepuhan.
Selain untuk menghormati segenap kasepuhan yang menghuni dan turut berperan aktif dalam pembangunan di wewengkon Lebak. Hal ini juga untuk melestarikan dan mengenalkan budaya Lebak agar tidak hilang terkikis jaman, tidak lekang oleh waktu. Betapa beragamnya Kabupaten Lebak akan masyarakat adat dan kasepuhan. Tidak kurang dari masyarakat adat baduy, kasepuhan Guradog, Cisungsang, Citorek, Ciptagelar, dan masih banyak yang lain.
Tujuan utama pemakaian kampret kasepuhan ini tidak lain, karena kami ingin belajar kepada para kasepuhan. Betapa teguhnya masyarakat adat setia kepada aturan yang telah turun temurun selama ratusan tahun dan masih tetap lestari hingga saat ini. Kami ingin meneladani masyarakat adat kasepuhan, dan dengan memakai pakaian ini, kami bisa meresapi betapa luhur makna yang terkandung yang sama-sama bisa kita teladani. Dengan pakaian ini, kita bisa melunturkan ego individu, kita mampu mengikis nafsu keserakahan dan ketamakan, juga yang tidak kalah pentingnya, kita mampu belajar banyak tentang :
Bagaimana Ketahanan Pangan Masyarakat Adat
Hasil pertanian pada saat panen tidak dihabiskan pada masa itu, namun sudah memikirkan tentang hari esok. Maka muncul kesadaran kolektif secara gotong royong untuk menabung padi tersebut di leuit, untuk bisa digunakan pada saat musim paceklik.
Wewengkon bukan saja dimaknai sebagai ruang kosong dan benda mati sebagai tempat menghuni dan hidup serta mencari penghidupan. Namun juga dimaknai sebagai bagian tidak terpisahkan dari kehidupan. Alam butuh keseimbangan ketika pada saat yang bersamaan masyarakat mengambil manfaat darinya. Alam harus dijaga, dirawat dan dilestarikan. Manusia tidak boleh berkhianat terhadap alam, apabila tidak ingin alam menghukum manusia karenanya.
Dan kesemuanya itu, kita harus jujur mengakui, kita yang tinggal di lingkungan lebih ”kota” sudah meninggalkan keramahan dan kearifan lokal para sesepuh. Maka tidak heran, musim penghujan banjir, musim kemarau tandus, semakin banyak penyakit yang aneh dan masih banyak permasalahan lainnya, yang apabila kita merunut, bermuara dari akibat ketamakan kita sendiri kepada alam lingkungan yang kita diami dan tinggali
Dengan memakai pakaian kampret kasepuhan ini. Maka tegas kami sampaikan. Kami ingin belajar pada masyarakat kasepuhan. Pandangan yang menyebutkan bahwa masyarakat adat adalah masyarakat kolot dan terbelakang, adalah pandangan yang sesat dan sangat keliru.
Lihat, betapa humble-nya masyarakat adat baduy, betapa jujur dan apa adanya masyarakat baduy, betapa indahnya masyarakat baduy mengajarkan itu semua. Dalam pikukuhnya masyarakat baduy mengatakan :
Lebak teu meunang diruksak (lembah tak boleh dirusak)
Larangan teu meunang ditempak (larangan tak boleh dilanggar)
Buyut teu meunang dirobah (buyut tak boleh diubah)
Lojor teu meunang dipotong (panjang tak boleh dipotong)
Pondok teu meunang disambung (pendek tak boleh disambung)
Mipit kudu amit (mengambil harus pamit)
Ngala kudu menta (mengambil harus minta)
Nyaur kudu diukur (bertutur harus diukur)
Nyabda kudu diunggang (berkata harus dipikirkan supaya tidak menyakitkan)
Ulah ngomong sageto-geto (jangan bicara sembarangan)
Ulah lemek sadaek-daek (jangan bicara seenaknya)
Ulah maling papanjingan (jangan mencuri walaupun kekurangan)
Dan kita lihat, hari – hari ini di republik kita. Karena “nyaukur teu diukur (bertutur yang tidak diukur), nyabda teu diunggang (berkata yang tidak dipikirkan), ngomong sageto – geto (bicara sembarangan), lemek sadaek-daek (bicara seenaknya) terlepas dari persoalan hukum salah atau tidak, negara sudah sedemikian gaduh karena tutur yang tidak terukur dan dipikirkan, hingga akhirnya menyentuh area publik yang paling sensitif, yaitu agama.
Maka tidak salah kiranya apabila saya berkata, mari belajar kepada masyarakat adat.
Lihat juga, betapa ”adaptive-nya” masyarakat adat
Abah usep, kasepuhan Cisungsang mengatakan ”urang kudu sing bisa ngigeulan jaman” yang artinya kita harus bisa mengikuti perkembangan jaman sebagai sebuah keniscayaan, namun pada saat yang bersamaan jangan terseret oleh kemajuan jaman. Perubahan sebagai sebuah keniscayaan peradaban untuk perkembangan dan kemajuan, namun tetap memegang teguh adat budaya serta kearifan lokal sebagai sebuah warisan (legacy) yang harus senantiasa dijaga dan dilestarikan. Karena kesetiaan terhadap kearifan lokal akar sejarah-lah yang menjadi pembeda / diferensiasi yang bernilai tinggi sebagai sebuah entitas masyarakat bernama Lebak .
Pada bagian lain, kita lihat, betapa perspektif masa depan kebangsaan dari kasepuhan sungguh luar biasa. Risaunya abah ugi, kasepuhan ciptagelar terhadap berbagai fenomena lunturnya kesadaran akan adat istiadat dan jati diri sebagai bangsa dan mengarah kepada disintegrasi bangsa. Beliau mengatakan ”jaman ayeuna, nu asli kaganti kunu deungdeungeun, adat terganti ku barat, luntur ibun laas ku hujan, kabobodo tenjo kasamaran tingal, nu lain di enya-enya, nu enya di lain-lain”
Jujur saya sampaikan, pemerintah Kabupaten Lebak tidak malu berguru kepada para kasepuhan, kami tidak sungkan untuk belajar kepada para kasepuhan dan masyarakat adanya. Maka dari pada itu, kepada para kasepuhan dan masyarakat adat, sudah saatnya masyarakat adat memperlihatkan kepada warga Lebak dan warga di luar Lebak, tentang keluhuruan, tentang kesalehan sosial terhadap alam, manusia dan pencipta-nya. Sebagaimana pepatah “nyumput buni ti nu caang”, dalam artian, bahwa yang shaleh itu sebenarnya ada dan nyata ditengah-tengah kita, namun mata hati kitalah yang tertutup.
Penulis Adalah Kepala Bagian Administrasi Pembangunan Setda Kabupaten Lebak
Editor: Karnoto