Published On:Rabu, 16 Maret 2016
Posted by Unknown
Kepak Sayap Anak Desa [Bagian - 1]; Teguh Pegang Pendirian, Tak Peduli Siapa Lawan
Pagi itu cerah, awan mungil tampak berlarian-larian di atas langit dengan semburat biru cerah karena pantulan air laut. Pagi ini adalah hari istimewa bagi saya dan teman-teman sekelas VI di SD Negeri Panggarangan, Desa Situregen, Kecamatan Panggarangan, Kabupaten Lebak. Karena akan ada pengumuman hasil penilaian kebersihan antar kelas. "Kelas saya harus juara, harus pokoknya tidak boleh tidak," gumam saya dalam batin sambil mengikat tali sepatu.Adrenalin saya membuncah, dada saya berdetak kencang dan raut wajah sedikit was-was meski dibungkus optimisme akan menjadi juara sebagai kelas paling bersih. Bagi saya menjadi juara itu suatu kehormatan apalagi dengan semangat kompetisi yang kompetitif. Orangtua saya mengajarkan saya untuk bekerja keras jika ingin menuai kesukseskan, tidak boleh malas dan jangan pernah minder dengan lawan meskipun ketika itu posisi kita masih lemah.
Saya mulai melangkahkan kaki dengan penuh kepastian bahwa kelas saya akan menjadi juara sebagai kelas paling bersih. Setiap kali melangkahkan kaki, ada getar dari bumi yang menghubungkan ke detak jantung seolah pertanda kompetisi akan berlangsung dengan penuh ketegangan. Meski hanya lomba antar kelas di sekolah dan hanya masalah kebersihan, namun bagi saya kompetisi tetap harus dilakukan dengan penuh semangat dan sungguh-sungguh.
Man Jadda Wa Jadda, siapa yang sungguh-sungguh maka dia akan menuai keberhasilan. Itulah filosofi dari Agama saya yaitu Islam. Sesekali saya menghadapkan wajah ke atas langit, untaian doa tanpa kata meluncur dari hati. Saya tahu Tuhan Maha Mendengar doa hamba-hambanya yang bersungguh-sungguh menjemput hikmah yang Dia sebarkan ke pelataran bumi.
Kumpulan awan tampak tersenyum seperti mengerti apa yang ada dalam hati saya. Sembari bergelantungan, awan mengiringi langkah demi langkah kaki saya menuju ke sekolah. Sekolah kampung di dataran tinggi yang menjadi pijakan awal saya meniti ilmu, mengambil serpihan hikmah yang tercecer dari buku untuk kemudian saya rangkai menjadi sebuah hikmah yang kelak menjadi bekal hidup saya.
Setelah jalan menyusuri tapakan jalan berbatu akhirnya saya sampai di sekolah. Teman-teman saya di kelas 6 sudah menunggu di ruang dan sebagian di luar kelas. Mereka seperti sedang menunggu sang panglima yang akan menjadi komando dalam sebuah pertempuran. Meskipun mendapat siraman optimisme saya tetap merasa ada rasa was-was yang menyelinap dalam hati dan pikiran, tapi waktu itu belum bisa dideteksi apa yang membuat itu semua.
Sebagai ketua kelas saya memang harus menyembunyikan rasa itu, saya harus tampil prima seolah-olah tak ada sesuatu berkecamuk dalam hati saya kendati sebetulnya ada. Saya harus memancarkan wajah optimisme dan semangat agar anak buah bisa merasakan denyut semangat saya. Sebagai pemimpin di kelas saya harus membangun kelompok yang memiliki jiwa sang juara, bukan sang pecundang.
Beberapa menit saya berbincang dengan teman-teman sekelas, tiba-tiba datang sosok laki-laki dengan langkah kaki seperti debcolector yang hendak mengambil paksa barang sitaan. Jantungku semakin kencang berdetak, denyut nadi bergerak-gerak tidak seperti biasa. Saya bukan takut, tapi batin saya seperti menangkap ada sesuatu yang bakal terjadi.
Jreng..benar saja. Saya dituduh oleh guru ini (dengan segala hormat Almurham Pak Aman), memecahkan kaca ruang kelas lima padahal saya tidak melakukan hal bodoh itu. Meski ada kesan "memaksa" saya harus mengakui perbuatan yang dituduhkan tapi saya tetap keukeuh karena memang tidak melakukan hal itu. Bodoh sekali saya kalau melakukan hal tercela seperti itu, Ibu saya mengajari saya mengaju, bangun Subuh untuk shalat Subuh meski usia masih sekolah dasar.
Lalu tak cukup sampai disitu, Ibu saya juga mengajarkan tentang keprihatinan sehingga saya dibekali bubur kacang hijau untuk dijajakan dan saya lakukan itu sampai harus keliling kampung. "Masa saya mau mengorbankan harga diri saya dan Ibu saya hanya perbuatan tercela itu, tidak" gumam saya dalam batin sembari menangkis tuduhan sang guru.
Perdebatan sengit terjadi beberapa saat sampai sejumlah guru yang sedang asyik ngobrol di ruang guru keluar dan melerai kami. Namun saya tetap keuekuh bahwa saya bukan pelaku pemecahan kaca sekolah, sampai kapan pun saya tidak akan pernah mengaku perbuatan yang tidak saya lakukan.
Pak Guru tampak marah, wajahnya memerah karena menganggap anak kecil seperti saya berani mendebat dengan sang guru. Namun itulah karakter yang ditanamkan dari orangtua, jangan pernah takut dengan siapapun selama saya benar. Pertahankan kebenaran itu meski harus menanggung risiko berat.
Untuk membuktikan kebenaran akhirnya kita sama-sama menuju ruang kelas lima sebagai tempat kejadian perkara. Saya mendapat pengawalan dari teman-teman, mungkin bagi mereka saya pemimpin mereka sedang dituduh perbuatan yang tidak pernah dilakukan sehingga mereka merasa harus pasang badan.
Sesampai di ruang kelas lima, saya melihat ada titik pembuktian yang bisa menjadi penguat bahwa memang saya tidak salah. Tampak pintu jendela tidak terkunci, lalu dibukalah pintu jenderal tersebut dan benar saja kaca jendela jatuh ke lantai dan Crang.....langsung pecah. Dari situlah Pak Aman mengerti penyebab kaca pecah dan kami pun merasa puasa karena akhirnya bisa membuktikan kebenaran itu.
Meski harus melalui hentakan yang menegangkan tapi saya bersyukur karena akhirnya kelas saya menjadi juara. Ini merupakan yang kesekian kalinya kelas yang saya pimpin menjadi juara. Sebagai ketua saya merasa bangga karena bisa memegang dan membuktikan kepercayaan teman-teman bahwa saya mampu membawa kelas menjadi bintang.
# Catatan Kecil Ade Hidayat
Anggota DPRD Propinsi Banten