Published On:Jumat, 26 Februari 2016
Posted by Unknown
Antara Kapasitas dan “Isi Tas”, Siapa Menang?
Pemasaran tradisional memandang bahwa perusahaan membuat sesuatu dan kemudian menjualnya. --Philip Kotler—
Perubahan sosial menurut
Soerjono Soekanto terjadi karena faktor
adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap sesuatu yang ada atau perubahan itu
terjadi karena ada sesuatu yang lebih memuaskan dibandingkan yang ada saat ini.
Saya ingin mengkorelasikan antara tinjauan sosiologi yang diungkapkan oleh
Soerjono dengan komunikasi pemasaran yang dikaji oleh pakar pemasaran dunia
Philip Kotler, dimana ada titik singgung antara keduanya dan bisa dijadikan tools kita untuk menguatkan brand.
Meskipun Kotler tidak
membahas mengenai pemasaran politik tapi secara substansi teori pemasaran
komersial bisa diadopsi ke dalam politik. Teori marketing inilah yang
menginspirasi sejumlah akademisi menulis buku tentang marketing politik. Beberapa
buku marketing yang kontennya politik diantaranya, buku Marketing
Politik yang ditulis Firmanzah atau buku Iklan Politik yang ditulis Akhmad Danial termasuk saya sendiri
tertarik untuk menulis konten ini.
Alasannya, pertama selama kurang lebih lima tahun saya menjadi wartawan sedikit banyak tahu tentang dramatisasi politik, games politik dan bagaimana mereka melakukan tawar menawar kekuatan. Kedua, saya sendiri ingin berbagi apa yang pernah didapatkan selama belajar tentang Marketing Communication Advertising di kampus.
Alasannya, pertama selama kurang lebih lima tahun saya menjadi wartawan sedikit banyak tahu tentang dramatisasi politik, games politik dan bagaimana mereka melakukan tawar menawar kekuatan. Kedua, saya sendiri ingin berbagi apa yang pernah didapatkan selama belajar tentang Marketing Communication Advertising di kampus.
Pada hampir setiap
perhelatan politik, baik pemilihan calon anggota DPRD, kepala daerah hingga
presiden, para calon menginginkan bisa memenangkan medan pertempuran politik. Namun
sayangnya, masih ada yang menggunakan cara-cara tradisional sehingga tidak
seimbang antara dana yang dikeluarkan dengan hasil yang didapatkan.
Salah satu penyebabnya adalah calon dan timnya sendiri tidak mengerti bagaimana memasarkan sebuah produk dalam hal ini calon. Akhirnya cara-cara tradisional pun terpaksa dilakukan meskipun mereka sejak awal sudah “menyerah” sebelum berperang karena cara pandangnya hanya urusan logistik.
Salah satu penyebabnya adalah calon dan timnya sendiri tidak mengerti bagaimana memasarkan sebuah produk dalam hal ini calon. Akhirnya cara-cara tradisional pun terpaksa dilakukan meskipun mereka sejak awal sudah “menyerah” sebelum berperang karena cara pandangnya hanya urusan logistik.
Kalau ingin menang maka duitnya juga
harus buanyak. Padahal, fakta di
lapangan tidak sepenuhnya calon yang logistiknya besar berhasil memenangkan
pertempuran. Inilah yang disindir Kotler dalam salah satu pembahasan bukunya
berjudul Manajemen Pemasaran. Dalam buku itu, Kotler mengatakan bahwa pemasaran
tradisional memandang bahwa perusahaan membuat sesuatu dan kemudian menjualnya.
Menurut Kotler, pandangan tradisional seperti itu tidak akan berhasil karena konsumen dihadapkan dengan banyak pilihan. Meski yang diungkapkan Kotler adalah produk komersial, tetapi sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan produk politik.
Menurut Kotler, pandangan tradisional seperti itu tidak akan berhasil karena konsumen dihadapkan dengan banyak pilihan. Meski yang diungkapkan Kotler adalah produk komersial, tetapi sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan produk politik.
Salah satunya adalah mengenai perilaku pemilih, dimana pemilih setiap tahun
mengalami perubahan seiring dengan proses pendidikan politik yang dilakukan
beberapa elemen, mulai dari media, lembaga swadaya masyarakat (LSM), mahasiswa
dan partai politik itu sendiri. Hasilnya, masyarakat mulai cerdas dalam memilih
pemimpin dan fakta di lapangan di beberapa daerah membuktikan keberhasilan
pendidikan politik meskipun belum sempurna.
Perilaku pemilih bukan saja cerdas tapi mereka sudah berani mengatakan ketidaksetujuannya dengan calon yang dianggap tidak memuaskan. Banyak politisi yang gagal mencalonkan untuk kedua kalinya karena masyarakat menganggap gagal ketika orang tersebut duduk di parlemen. Inilah salah satu perubahan sosial dan perilaku politik yang berani dan terjadi saat ini di dalam masyarakat.
Dalam perkembangannya,
perilaku pemilih sekarang adalah sudah segmentatif dan mereka memiliki
pengalaman, persepsi, keinginan, kebutuhan dan kriteria sendiri dalam memilih
seseorang. Dan hal itu tidak selalu duit, tapi bisa jadi faktor nilai yang ada
pada diri calon itu sendiri. Perubahan ini harus menjadi tools para politisi dan partai politik sehingga proses marketing
politik bisa sesuai dengan target yang diinginkan.
Jadi ada nilai yang didapatkan oleh masyarakat dari politisi atau parpol itu sendiri, inilah yang disebut Kotler penghantaran nilai (value delivery). Kotler membagi tiga tahap proses value delivery ini, fase pertama adalah memilih nilai dan ini bisa dilakukan dengan cara STP (segmentasi, targeting dan positioning).
Jadi ada nilai yang didapatkan oleh masyarakat dari politisi atau parpol itu sendiri, inilah yang disebut Kotler penghantaran nilai (value delivery). Kotler membagi tiga tahap proses value delivery ini, fase pertama adalah memilih nilai dan ini bisa dilakukan dengan cara STP (segmentasi, targeting dan positioning).
Fase kedua yaitu
menyediakan nilai, artinya politisi atau parpol harus mulai menentukan
fashion, tim sukses dan menyiapkan konten untuk alat promosi. Dan terakhir
adalah mengkomunikasi nilai, dimana
politisi atau parpol melakukan promosi
sebagai alat penyampaian pesan yang bersi nilai (visi dan misi) yang tentu
berbeda dengan calon lain. Dalam teori periklanan, ada yang disebut dengan
promotion mix yaitu bauran promosi terdiri dari advertising, press release,
personal selling, direct selling, event. Inilah tahap terakhir yang harus
dilakukan para politisi untuk agar pesan bisa sampai kepada calon pemilih.
Salah satu bauran
promosi adalah Iklan. Iklan seorang calon harus disesuaikan dengan target pasar
yang hendak dibidik. Contoh, Dapil kita mayortas di perdesaan maka cara yang
paling efektif adalah melakukan event dalam bentuk bakti sosial, kegiatan
keagamaan dan visinyapun harus mengenai pertanian. Event ini juga bisa
dikompilasi dengan atributisasi melalui banner dan spanduk dengan isi pesan
yang diinginkan dan dibutuhkan masyarakat, sehingga mendapat respon positif.
Penulis: Karnoto
# Chief in Editor Banten Perspektif
# studi MarComm Advertising di Univ. Mercu Buana, Jakarta