Published On:Rabu, 10 Februari 2016
Posted by Unknown
Emotional Politic, The Real Winner
Branding
sesungguhnya berkaitan dengan pangsa pikiran dan emosi, bukan dengan
pangsa pasar.
---Marc
Gobe---
Mengawali
tulisan kali ini saya ingin mengajak pembaca membuka memori otak kita
tentang presiden Indonesia, Soekarno, Soeharto, Gusdur, Megawati
Soekarnoputri hingga presiden sekarang Susilo Bambang Yudhoyono atau
biasa dikenal dengan singkatan SBY. Manfaatnya apa?. Ini ada
kaitannya dengan tema tulisan. Ide awal menulis tema tentang Emotional Politic
ini muncul ketika saya membaca buku karangan Marc Gobe, seorang ahli
branding merek yang berjudul Emotional
Branding.
Marc
memang tidak membahas tentang politik tetapi khusus mengenai branding
merek- merek terkenal di Amerika Serikat. Namun menurut penulis
branding merek pada produk komersial tidak jauh berbeda dengan
politik. Saya merasa yakin kalau kesimpulan ini tidak keliru 100
persen karena berdasarkan bukti empiris. Sebagai seorang jurnalis
saya menemukan fakta-fakta yang membuktikan bahwa dalam konteks
strategi marketing produk komersial 99,9 persen memiliki kesamaan
dengan strategi marketing politik. Mulai dari Marketing
Communication Consept,
manajemen event, advertising hingga branding personal. Bahkan sampai
hal teknis seperti direct selling, manajemen distribusi hingga
manajemen risiko, nyaris tidak ada bedanya.
Istilahnya
saja yang berbeda tetapi pada substansinya sama, yaitu bagaimana
memengaruhi konsumen dalam hal ini pemilih agar menjadi konsumen
(pemilih) loyal sehingga menguntungkan partai politik. Dengan
menguasai pasar maka bisa lebih lama menjadi market leader sehingga
menjadi partai pemenang sepanjang massa.
Kita
buka memori pertama yaitu Presiden Soekarno. Sang proklamator ini
sangat menonjol pada sisi emotional
branding. Cara dia berpidato,
cara dia membangkitkan semangat rakyatnya, cara dia memperlakukan
tamu negara dan hingga tukang masak istana pun Soekarno selalu
melakukan emotional politic.
Emotional
politic inilah yang membuat
Soekarno masih memiliki pendukung loyal hingga kini. Bukan saja
pribadi Soekarno, tetapi barang-barang peninggalan Soekarno mulai
dari cincin sampai isu soal harta karun Soekarno. Inilah pendekatan
politik riil yang ternyata menjadi metode modern oleh sejumlah
perusahaan ternama dan diadopsi oleh para politisi. Dalam produk
komersial, sebuah merek yang ingin memiliki konsumen loyal dan
bertahan lebih lama harus mengguggah perasaan konsumen. Lihat gaya
komunikasi yang dilakukan Sariwangi di layar televisi, sangat
emotional.
Dalam iklannya, Sariwangi menggambarkan seorang suami
yang kesel kepada istri karena pesan singkatnya yang menanyakan menu
makan hari itu tetapi ternyata istri tidak tahu kalau sang suami
mengirim pesan singkat. Apa yang terjadi, disitulah Sariwangi hadir
seperti ingin menggambarkan bahwa kalau suami sedang kesel sajikan
saja Sariwangi maka akan tersenyum kembali. Sederhana dan mengguggah
emotional keluarga Indonesia.
Ini
pula yang dilakukan Teh Botol Sosro. Komunikasi produk ini begitu
sederhana dan menyentuh perasaan konsumen di Indonesia. Apapun
Makannya, Minumnya The Botol Sosro, sebuah tagline dan gaya
komunikasi yang cerdas karena mampu mengguggah emosional konsumen
Indonesia. Wajar kalau produknya bertengger di papan atas. Inilah
yang disebut Marc Gobe suatu merek menjadi hidup bagi masyarakat dan
membentuk hubungan mendalam dan tahan lama.
Kembali
pada politik, emotional politic
juga dilakukan Soeharto. Bagaimana ia mampu mendoktrin azas
Pancasila, bagaimana Soeharto membentuk opini publik bahwa dialah
bapak pembangunan. Dan yang tidak kalah pentingnya bagaimana Soeharto
membangun hubungan emotional yang cukup kuat dengan kalangan militer.
Lagi-lagi semua itu adalah bagian dari emotional
politic. Ini
pula yang dilakukan
Megawati Soekarnoputri yang ketika itu dijadikan simbol wong cilik.
Emosi rakyat kecil disentuh sehingga mengguggah rasa dan kesetiaan
rakyat terhadap Megawati.
Presiden
SBY pun demikian. Emotional
politic dia lakukan sehingga
terpilih untuk kali keduanya menjadi presiden. Ia dikenal sosok yang
memiliki paras gagah dan dalam posisi terzalimi karena ada kesan
dikucilkan di masa pemerintahan Megawati saat masih menjabat sebagai
Menteri Polhukam. Lagi-lagi emotional
politic berperan di sini dan
mampu menggaet pemilih. Rakyat kali pertama memilih SBY bukan karena
leadershipnya karena sebagian rakyat tidak mengetahui sebelumnya
siapa SBY. Namun berkat emotional
politic SBY mampu
menyingkirkan pesaingnya.
Saat
ini emotional politic juga sedang dilakukan Aburizal Bakrie, calon
presiden dari Partai Golkar. Gerakan
Ayo Bangkit pun diluncurkan.
Komunikasi melalui iklan luar ruang dan media begitu gencar. Tidak
hanya itu, dalam salah satu program ANTV, Ical hadir sebagai
narasumber dengan dihadirkan pula mantan pembantu ayah Ical. Dalam
program yang ditayangkan di bulan Ramadhan 2012 dengan Ustazah Mamah
Dedeh, Ical ingin membangun emotional politic kepada publik. Dalam
program itu, sang mantan pembantu orangtua Ical menyampaikan bahwa
keluarga Ical merupakan keluarga yang peduli kepada siapapun termasuk
pembantu. Hal ini dibuktikan dengan disekolahkannya anak-anak
pembantu tersebut hingga ke perguruan tinggi.
Apakah
berhasil strategi emotional
politic yang
dilakukan Ical,
itu semua tergantung tim suksesnya. Apakah cukup cekatan memainkan
emotional publik atau tidak. Emotional politic juga sedang dilakukan
Hatta Rajasa dengan program bantuan masjid yang rajin ditayangkan di
bulan Ramadhan. Begitu pun tokoh lainnya, seperti Prabowo Subianto yang
mencoba membangun emotional politic dengan para pedagang kecil dan
petani. Dalam konteks politik daerah pun emotional politic dilakukan,
dimana para politisi di daerah mulai dari anggota
Dewan, Bupati dan Walikota hingga Gubernur membangun hubungan emosional.
Sebagai studi kasus di Banten.
Kita bisa melihat emotional politic ini
cukup dari gaya komunikasi beberapa kepala daerah melalui advertising.
Walikota Tangerang Selatan, Airin Rachmi Diany misalnya, Anda coba akses
di websitenya maka disitu ada beberapa foto Airin yang cukup emosional.
Seperti foto Airin yang sedang mendengarkan veteran TNI, foto bersama
pakai handpone dengan seorang ibu.
Penulis
tidak sedang membahas apakah foto tersebut kepribadian personal yang
bersangkutan atau sekadar rekayasa. Namun, dalam memasarkan produk
apalagi branding personal maka hal itu harus dilakukan mengingat ada
pesaing yang dipastikan melakukan hal serupa. Anda lihat Jokowi,
branding personal dengan kemeja kotak-kotaknya cukup emosional ditambah
gaya komunikasi Jokowi yang apa adanya dan mudah dipahami masyarakat. Emotional
politic yang
penulis maksud
bukanlah money, melainkan rasa dan cara politisi melakukan komunikasi
politik. Gugahlah rasa para pemilih melalui ikatan emotional yang
kuat.
Dalam produk komersial rakyat adalah calon konsumen yang memiliki
selera macam-macam. Cuma satu yang tidak bisa dibedakan yaitu urusan
emosional.
Namun celakanya, banyak para politisi yang membangun emosionalnya
hanya menjelang pemilihan. Analisis empiris saya terhadap
politisi lokal di salah satu kota di Provinsi Banten, rata-rata
mereka yang menjadi legislatif adalah orang-orang yang sukses
membangun emosional jauh sebelum musim pemilihan. Ada salah seorang
politisi yang jauh sebelum menjadi anggota Dewan dia mengajak hampir
seluruh pemuda di wilayahnya bekerja di perusahaan yang ia miliki.
Hasilnya, meskipun tergolong baru di dunia politik dia terpilih.
Saya
memperkirakan hampir 70 persen lebih Dewan yang terpilih adalah orang-orang yang
berhasil melakukan emotional
politic, sisanya karena hanya
diuntungkan oleh keadaan partai yang sedang membaik. Saya meyakini,
sisanya yang 30 persen itu akan sulit terpilih kembali jika tidak
melakukan emotional politic sejak dia dilantik menjadi Dewan. Mengapa
emotional politic parlu dilakukan?.
Alasannya cukup sederhana yaitu karena yang
dibidik adalah manusia, dimana mereka memiliki rasa dan keinginan
serta kepribadian yang bermacam-macam karena memiliki latar belakang berbeda.
Dalam teori Psikologi menurut Sigmund Freud, kepribadian manusia
terdiri dari tiga struktur yaitu Id, Ego dan Superego. Id adalah
keinginan untuk selalu merasa puas. Keinginan ini diatur oleh Ego
agar tidak bertentangan dengan lingkungan sosial, sedangkan Superego
sendiri adalah bagian moralitas. Pada bagian inilah emotional
politic bermain sehingga
timbal baliknya adalah emotional positive dari pemilih yang akan menguntungkan sang
politisi.
PENULIS: KARNOTO
CHIEF IN EDITOR BANTENPERSPEKTIF