Published On:Jumat, 26 Februari 2016
Posted by Unknown
Menjadi “Salles” Politik
Kemauan keras adalah modal awal yang utama, sedangkan hal
lainnya seperti skill dan pengetahuan hanyalah pendukung.
~ LISA KUNTJORO ~
Kekuatan kader adalah
aset paling berharga bagi sebuah partai, apapun partainya, apapun ideologinya.
Oleh karena kader adalah aset maka selayaknya partai memberikan perhatian penuh
terhadap perkembangan kader. Selain mengukuhkan eksistensi sebuah partai, kader
partai juga menjalankan fungsinya sebagai salles
politik. Merekalah yang melakukan “perang” darat dengan kompetitor dan
merekalah yang paling merasakan dampak dari pertempuran tersebut sehingga wajar jika para kader lebih emosional jika
dibandingkan dengan elit yang jarang melakukan serangan darat.
Tidak heran pula,
pertempuran darat yang dilakukan para kader partai sering berujung dengan
perang fisik sesungguhnya. Disinilah mesin partai seharusnya mematangkan dan
memberikan amunisi kepada kader sehingga tidak hanya bermodalkan fisik semata,
tetapi ide, gagasan dan kreativitas termasuk perihal kedisiplinan.
Lebih kongkritnya, partai
harus mempersiapkan secara matang tools-tools
menjadi salles politik yang bisa
dipakai oleh mereka sehingga di lapangan para salles politik tersebut mampu
mengatasi dinamika dengan baik. Menurut Lisa Kunjtoro, seorang pengusaha
properti dalam bukunya Super Champion,
ada empat hal yang harus dipersiapkan seorang salles yaitu, pertama
seorang salles harus mengetahui secara pasti siapa yang akan ditemui, paling
tidak tahu sedikit latar belakangnya. Kedua,
menyiapkan materi atau konten yang akan disampaikan, ketiga menguasai seluruh produk dalam hal ini adalah diri seorang
politisi dan partai politik yang akan dijual dan terakhir memastikan penampilan
diri sebaik mungkin sesuai dengan waktu, tempat, dan demografi audiens.
Para salles partai harus
tahu betul seluk beluk partai, bukan hanya perihal lahir dan ketua umumnya
melainkan isi dan platform partai itu
sendiri sehingga bisa menjelaskan secara utuh tentang partai sebagai produk
yang dijual kepada audiens dalam hal ini calon pemilih. Jika tidak maka hampir
dipastikan dirrect selling yang kita
lakukan akan gagal total. Demografis di daerah perkotaan tentu berbeda dengan
perdesaan, baik dari pendapatan, pendidikan maupun life stylenya. Hal-hal seperti ini harus menjadi perhatian partai.
Paling tidak partai memberikan petunjuk teknis (juknis) kepada salles politik
sehingga mereka lebih siap dengan berbagai kemungkinan yang ada.
Disinilah pada level top
manajemen memikirkan konsep yang baik dan membumi agar bisa diterapkan oleh
para salles politik ketika melakukan dirrect selling. Menurut penulis dari sini
saja publik bisa menilai mana partai yang betul-betul dikelola secara modern
dan mana partai yang manajemennya masih konvensional alias tradisional. Menjadi
salles politik gampang-gampang susah mengingat ada perubahan perilaku pemilih
dari pemilu ke pemilu. Jika pada pemilu 2004-2009, pemilih lebih selera memilih
presiden yang ganteng, gagah dan dari kalangan militer maka ada perubahan
kecenderungan pada pemilu 2014.
Aspek ganteng tidak bisa lagi dijual seiring
dengan dinamika politik yang terjadi saat ini.
Kondisi ini tidak bisa dilepaskan
dari berbagai variabel, diantaranya lahirnya generasi dunia maya, dimana jika
dilihat dari karakterisitknya mereka sudah mulai berpikir rasional bukan
emosional. Fenomena kepala daerah yang low profile adalah salah satu indikator
yang bisa kita lihat secara kasat mata untuk menunjukan bahwa pemilih saat ini
sudah mulai menggunakan rasionalitasnya.
Informasi perubahan
perilaku pemilih semacam ini juga harus sampai kepada para salles politik lalu
partai menyiapkan konten dan tool yang sudah disesuaikan dengan demofrafi dan
perilaku pemilih. Jika sebuah partai memiliki para salles yang loyal, cerdas
dan memiliki kemauan keras lalu ditunjang dengan konsep marketing yang handal
maka saya meyakini partai tersebut tidak akan mengalami terjun bebas ketika
terpaksa harus pada posisi decline dalam product life cycle. ***
Redaksi Banten Perspektif